BELAJAR DARI MENUNGGU

Proses learning by doing seperti yang diajarkan Allah SWT mendidik Rosulullah dari kecil hingga dewasa adalah sebuah metode dalam membentuk pribadi anak.
Sore itu Abith seorang anak lelaki yang baru duduk di kelas 4 SD, lari tergopoh-gopoh. Di depan pintu ia mengucap salam, “Assalamua’laikum,” “Waa’laikumsalam”jawab ibunya sambil terus mengerjakan pekerjaan rutin sore menyapu rumah. Melihat tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, Abith mengulang salamnya dengan lebih lengkap lagi kali ini suaranya lebih kencang, “Assalamua’laikum warohmatullahi wabarokatuhu.” Ummi-ku sayang tolong bukakan pintunya!” Sang ibu menjawab lengkap salam lengkapnya,” Waa’laikumsalam warohmatullahi wabarokatuhu, Abith kesayangan ummi. Tapi maaf ummi sedang menyapu, jadi silakan menunggu di luar dulu ya!” Abith kembali mendesak, “Ummi tolong bukakan pintunya, aku cuma mau masuk sebentar,” Uminya menjawab,” Sabar dulu sebentar nak”, “Kenapa ummi? kan bisa buka pintu dulu, lalu melanjutkan menyapu?” Abith sedang ditunggu teman-teman untuk mengambil bola.”
Nada bicara protes dan cepat dari Abith tidak merubah intonasi ibunya saat menanggapinya, “Ummi hanya ingin kamu merasakan bagaimana rasanya menunggu, padahal kamu sedang sangat memerlukannya.”

 
PENGALAMAN LANGSUNG

Membuat anak menjalani proses learning by doing sebagaimana Allah mendidik Rosulullah dari kecil hingga dewasa adalah sebuah metode yang tak boleh kita abaikan dalam membentuk pribadi anak.
Anak perlu pengalaman yang langsung mereka alami dan mereka rasakan. Pengalaman nyata dan langsung lebih efektif untuk membina akhlakul karimah anak.
Selepas magrib Abith mengungkapkan perasaan “Saat aku menunggu ummi membuka pintu, awalnya aku marah, jengkel, tidak sabar dan rasanya ingin mendobrak pintu. Namun sewaktu ummi bilang tentang bagaimana rasanya menunggu aku jadi ingat kejadian kemarin. Sewaktu kakak memanggilku karena ummi menyuruh aku pulang, aku malah menjawab, “Tunggu dulu mba, tunggu gol pertama gawang musuh jebol dulu.” Jadi waktu aku menunggu pintu dibukakan, aku berpikir “Seperti ini yang dirasakan ummi kemarin. Ummi mungkin lebih sedih dari aku karena ummi yang membesarkan aku, tapi aku tidak segera datang ketika dipanggil.”
Dengan mengalami dan merasakan sendiri apa yang dirasakan orang lain, anak akan belajar memahami perasaan orang lain dan bisa memutuskan tindakan yang tepat. Ia juga akan berkenan memperbaiki perilakunya yang kurang baik karena pengalaman langsung yang berkesan baginya.
Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah memberi pelajaran pada saat yang tepat. Jika ada permasalah, kemudian berusaha kita selesaikan saat itu tanpa melihat kondisi penerimaan anak yang mendukung, maka ‘nasihat-nasihat’ tidak akan efektif untuk anak.
Simaklah dialog berikutnya antara Abith dan ibunya. Sang ibu berakta,”Abith jika kita menunggu sesuatu, apalagi saat mendesak perasaan-perasaan yang tadi kamu ungkapkan, tentu tidak kita inginkan. Lalu bagaiman pendapatmu nak, jika Allah Rabb kita menunggu kita dengan sangat rindu untuk bertemu kita setiap waktu sholat tetapi justru kita abaikan? Kita tunda-tunda?
Inilah saat yang tepat untuk menanamkan aqidah pada anak. Pertanyaan dan tanggapan anak akan meluncur dari mulut anak kita. Saat itulah hadir kesempatan emas membawa mereka ke dalam pemahaman yang kita harapkan tentang bagaimana menjadi seorang muslim yang kaffah.
Seorang datang kepada nabi SAW dan bertanya “Ya Rosulullah, apa hak anakku ini? Nabi SAW menjawab, “Memberinya nama yang baik, mendidik adab yang baik dan memberinya kedudukan yang baik (dalam hatimu) HR Aththusi.
Memberi nama yang baik, insya Allah sudah kita lakukan, mendidik anak dengan adab yang baik insya Allah senatiasa kita upayakan. Tetapi selalu memberi kedudukan anak yang baik dalam hati kita, kiranya inilah yang masih mendapat porsi perhatian kita.
Anak mempunyai hak untuk selalu kita muliakan dengan cara senantiasa membuatnya bangga di depan orang tuanya. Anak yang mendapat pengakuan dari lingkungan terdekat, akan menjadi anak yang mempunyai konsep diri positif, mampu menyelesaikan masalah dirinya juga menghargai orang lain.
Nah disinilah pentingnya, kita sebagai muslimah terutama sebagai ibu, sebagai pendidik utama anak-anak kita menyadari betapa pentingnya setiap saat sebagai ajang pendidikan bagi anak kita. Juga menjadikan seetiap nilai-nilai Islamimenjadi mudah dimengerti sekaligus dijalankan oleh anak.
Untuk dapat melakukan semua itu perlu adanya ‘penguat’ dalamdiri kita. Lantas apa bentuknya ? Bentuknya, kesadaran kita akan visi utama dalam mendidik anak-anak.
Mari kita cermati do’a yang selalu kita lantunkan setiap selesai shalat fardhu untuk anak anak kita :” Robbana hablana min ajwaazinaa wa dzuriyatinaa qurrota a’yun . Waj al’na lil muttaqiina imaaman. Ya Allah limpahkanlah kepada kami pasangan dan anak yang indah dipandang mata dan menyejukkan hati dan jadikanlah anak keturunan kami pemimpin orang -orang yang beriman.”

 
Oleh : Reni Susilowati (Guru di KBTKIT Yaa Bunayya Cirebon)
 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Buka Hati dengan Pendidikan Tauhid

× Hubungi Kami