BPJS KESEHATAN DHOLIM ?!!!!

(Tulisan curhat seorang dokter)
 
MAAF, INI BUKAN SALAH KITA….. 
 
Akhirnya, yang saya takutkan terjadi juga.
Saya ‘harus’ bertemu dengan pasien BPJS, yang ternyata adalah istri dari seorang teman sejawat dokter umum. Pasien primigravida, datang jam setengah empat sore ke UGD dengan keluhan ketuban pecah dan letak lintang. Pasien tidak pernah ANC di saya. Setelah dihitung, usia kehamilannya masih sekitar 35 minggu. ANC terakhir adalah sebulan yang lalu di SpOG yang lain. Dari anamnesis, ternyata si pasien punya riwayat gula darah tinggi. Itu saja yang bisa saya gali (sungguh hal tidak menyenangkan bagi seorang SpOG bila ‘kedatangan” pasien yang tidak pernah ANC kepadanya ok harus meraba2 masalah pada pasien). Dan episode berikutnya, adalah episode2 yang harus membuat saya menangis tak terperikan dalam hati. Pasien saya rencanakan SC cito. Pertanyaan yang pedih ketika dokter jaga menghubungi saya,”dokter mau mengerjakan pasien BPJS?”. Pedih, karena semua sejawat SpOG pasti tahu nominal biaya paket SC. Sekitar 3-4 juta. Itu total Jenderal, sudah termasuk sewa OK, obat bius, benang benang jahit, perawatan di ruangan, infus dan obat di ruangan. Lalu berapa honor yang harus diterima seorang SpOG? Tergantung. Yah, tergantung sisa hal2 di atas. Bisa saja cuma 60 ribu seperti yang pernah dialami sejawat saya. Tapi, bukan itu yang membuat saya pedih. Toh, selama ini, kami para dokter sudah biasa mendiskon pasien, menggratiskan pasien dll. Yang membuat pedih adalah pertanyaan itu. Ini soal hati nurani. Apa mungkin saya menjawab tidak??? Pedih berikutnya, adalah ketika saya harus menunggu satu jam lebih untuk mendapatkan kepastian jadi tidaknya pasien ini operasi. Katanya, masih menunggu proses administrasi BPJS yang katanya online nya sedang lemot. Dan benar2 hati saya harus deg2an bercampur pedih itu tadi. Mau menunggu sampai kapan.Sampai jadi kasus kasep? Sementara urusan administrasi bukan wewenang kami para dokter. Setelah dengan sedikit pemaksaan, pasien akhirnya bisa sampai di kamar operasi. Lagi2 saya harus pedih. Berdua dengan sejawat anestesi, kami harus berhemat luar biasa. Saya sibuk berhemat benang, dan dia sibuk memilihkan obat bius yang murah meriah. Aduhai, operasi yang sama sekali tidak indah buat saya…. Selesaikah pedih saya? Ternyata belum. Pasca operasi, saya dihubungi apotek. “Dok maaf, obat nyeri nya tidak ditanggung, obat untuk mobilitas usus juga tidak ditanggung,” hiks….Apakah kami para dokter ini jadi dipaksa bekerja di bawah standar oleh pemerintah?
Dan, saya pun ikut merasakan betapa pasien masih merasakan kesakitan pasca SC.
Sungguh, maaf, ini bukan salah kita, pasien ku sayang….
Bahkan, obat nyeri yang oral pun terpaksa bukan yang biasa kami berikan. Pedih dan perih hati kami. Seperti inikah pengobatan gratis yang dijanjikan oleh Pemerintah? (Tapi sebenarnya tidak gratis bagi PNS, karyawan, buruh dan orang mampu yang nanti dipaksa ikut BPJS). Kami harus bekerja dengan pengobatan ala kadarnya yang membuat kesedihan luar biasa bagi kami. Kami merindukan pasien2 tersenyum bahagia. Dan…kepedihan yang paling2 pedih adalah harus menghadapi kenyataan bahwa malam ini, pasien BPJS saya adalah istri seorang sejawat dokter umum yang tercatat sebagai PNS di sebuah Puskesmas. Bayangkan, seorang ujung tombak lini depan pelayan kesehatan yang notabene pekerja Pemerintah, harus mendapatkan pelayanan BPJS seperti ini. Dan…menangisl ah saya, karena kalau BPJS tetap berjalan seperti ini, bukannya tidak mungkin, saya dan kita semua akan mengalami hal yang sama dengan istri sejawat saya ini. Karena kelak, BPJS ini wajib untuk semua rakyat dan semua RS. Karena pemerintah pun menjadi tukang paksa bagi seluruh isi negerinya..,,Ra kyat dipaksa ikut BPJS, karyawan swasta harus ikut BPJS, seluruh RS wajib melayani BPJS dan dokter pun harus melayani sesuai standar BPJS yang ala kadarnya…
Maaf, tapi ini bukan salah kita….
Copas dari TS SpOG. di RS…..
Ya Allah….kedzaliman macam apa ini?????
Nakes uda dibuat tertekan, menekan nuraninya untuk menolong sesama….
Rakyat udah dijadikan korban sedemukian rupa…..

Bismillahirrahmaanirrahiim,
Semoga program pemerintah ini hanya awalnya saja yang perlu adaptasi & seok2
Aamiin,


BPJS Kesehatan resmi beroperasi per 1 Januari 2014. Tapi ternyata cakupannya belum seluruh warga negara Indonesia. Pelayanan BPJS Kesehatan hanya untuk mereka yang terdaftar sebagai peserta. Bagaimana kalau Anda belum terdaftar sebagai peserta?

Direktur Kepesertaan BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati, menjelaskan peserta Askes, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek, Jamkesmas, Polri dan TNI otomatis masuk BPJS Kesehatan. Di luar kelompok itu tetap dibuka peluang masuk. BPJS Kesehatan juga sudah punya target untuk menggaet peserta lain. Misalnya peserta sektor formal dan informal yang selama ini belum terdaftar.

Endang mengajak masyarakat untuk segera mendaftar. Caranya, masyarakat tinggal menyambangi kantor BPJS Kesehatan –sebelumnya bernama Askes– dan membawa kartu identitas (KTP) serta pasfoto. Setelah mengisi formulir dan membayar iuran lewat bank, peserta akan mendapat kartu BPJS Kesehatan yang bisa langsung digunakan untuk mendapat pelayanan kesehatan. Sampai saat ini BPJS Kesehatan telah bekerjasama dengan BRI, BNI dan Mandiri.

Ditambahkan Endang, iuran dibagi berdasarkan jenis kepesertaan. Ada yang disebut penerima bantuan iuran (PBI), pekerja penerima upah dan bukan penerima upah, dan ada pula bukan pekerja. Untuk PBI, jumlahnya sudah ditetapkan oleh pemerintah sebanyak 86,4juta orang dengan iuran Rp19.225 per orang setiap bulan.

Peserta penerima upah seperti pekerja perusahaan swasta iurannya sebesar 4,5 persen dari upah satu bulan dan ditanggung oleh pemberi kerja 4 persen dan sisanya pekerja. Sedangkan PNS iurannya sebesar 5 persen, sebanyak 3 persen ditanggung pemerintah sebagai pemberi kerja dan sisanya ditanggung pekerja.

Untuk peserta bukan penerima upah seperti pekerja sektor informal besaran iurannya tergantung jenis kelas perawatan yang diambil. Meliputi, ruang perawatan kelas I Rp59.500, kelas II Rp42.500 dan kelas III Rp25.500. Bagi peserta bukan pekerja seperti pensiunan PNS, iurannya sebanyak 5 persen, dari jumlah itu 3 persen dibayar pemerintah dan 2 persen ditanggung penerima pensiun.

Peserta JPK mandiri Jamsostek, kata Endang, tidak otomatis beralih ke BPJS Kesehatan. Peserta bersangkutan harus mendaftar baru, dan iurannya mengikuti mekanisme untuk pekerja bukan penerima upah. “Harus mendaftar menjadi peserta baru. Iurannya bukan berdasarkan persentase tapi nominal, ada kelas I, II dan III,” katanya kepada wartawan di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Senin (06/1).

Bagi pekerja penerima upah yang belum didaftarkan perusahaannya menjadi peserta BPJS Kesehatan, Endang menegaskan si pekerja dapat mendaftar sendiri. Mekanisme ini sejalan dengan putusan MK atas UU BPJS. Tapi, ia menganjurkan pemberi kerja untuk aktif mendaftarkan pekerja beserta keluarganya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Namun, bagi pemberi kerja atau perusahaan yang selama ini telah membayar iuran jaminan kesehatan kepada pekerjanya lebih baik atau di atas 4,5 persen dari upah satu bulan, Endang mengatakan hal itu dapat dilanjutkan lewat BPJS Kesehatan. Caranya, dapat menggunakan mekanisme koordinasi manfaat (COB) atau on top. Lewat mekanisme itu maka jaminan kesehatan yang diterima pekerja dan keluarganya bisa lebih baik.

Misalnya, Endang melanjutkan, dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan, pekerja dan keluarganya mendapat ruang perawatan kelas II. Tapi dengan membayar premi tambahan kepada asuransi komersial, maka ruang perawatan dapat ditingkatkan menjadi VIP. Untuk menjalankan mekanisme itu, saat ini BPJS Kesehatan sedang merintisnya dengan sejumlah asuransi komersial, salah satunya PT InHealth.

Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, menjelaskan bagi perusahaan yang selama ini membayar jaminan kesehatan kepada pekerjanya lebih dari 4,5 persen dari upah setiap bulan maka dapat menambah manfaat lewat asuransi komersial. Sehingga, pekerja dan keluarganya mendapat benefit dari BPJS Kesehatan dan asuransi komersial.

Misalnya, total biaya di Rumah Sakit (RS) bagi seorang peserta mencapai Rp10 juta. Jika menggunakan COB maka BPJS Kesehatan membayar biaya berdasarkan ruang perawatan kelas II dan INA-CBGs atas diagnosa penyakit, misalnya, sebesar Rp4 juta. Lantaran peserta menggunakan mekanisme COB dan mendapat ruang perawatan VIP, maka sisa 6 juta rupiah dibayar asuransi komersial. “Jadi coordination of benefits(COB) ituberkoordinasi dengan perusahaan asuransi komersial,” ujarnya.

Mekanisme COB dapat dilakukan peserta lewat asuransi komersial. Jika sudah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, urusan administratif berjalan lebih mudah. Sebaliknya, jika asuransi komersial yang dipilih belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, mekanisme atau klaim COB dapat dilakukan peserta secara manual. Misalnya, peserta meminta bukti selisih pembayaran kepada RS.

Presidium KAJS sekaligus koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyoroti persoalan yang dihadapi peserta JPK mandiri Jamsostek ketika bertransformasi ke BPJS Kesehatan. Menurutnya, peserta JPK mandiri Jamsostek mengalami diksriminasi karena kepesertaannya berbeda dengan peserta JPK Jamsostek yang berasal dari pekerja sektor formal. Sebab ketika beralih ke BPJS Kesehatan, peserta JPK Jamsostek sektor formal hanya membayar iuran berdasarkan presentase upah sebulan yaitu 4,5 persen.

Ia juga mengkritik karena besaran yang harus dibayar peserta JPK mandiri Jamsostek saat ini jadi lebih mahal. Misalnya, pekerja formal dengan upah Rp2 juta sebulan, iuran BPJS Kesehatan hanya Rp90 ribu mencakup lima orang anggota keluarga dan mendapat ruang perawatan kelas II. Sedangkan untuk mendapatkan hal serupa pekerja mandiri atau informal harus membayar Rp212.500.

Timboel mengusulkan agar BPJS Kesehatan secara otomatis melayani pekerja mandiri sebagai peserta BPJS Kesehatan. Serta harus mengakomodir pekerja mandiri yang mendaftarkan diri beserta keluarganya dengan besaran iuran yang lebih rendah. “Harus ada kebijakan khusus bila pekerja mandiri mendaftarkan diri dan keluarganya ke BPJS Kesehatan,” urainya.

Sampai berita ini dibuat, pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) belum dapat berkomentar mengenai terbukanya peluang bagi pekerja untuk mendaftar sendiri ke BPJS Kesehatan. Upaya menghubungi ketua bidang Hubungan Industrial dan Advokasi DPN Apindo, Hasanuddin Rachman, lewat telepon dan pesan singkat tidak berbuah hasil sesuai harapan.

Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52ccd803a075f/jika-anda-belum-terdaftar-di-bpjs-kesehatan 


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

×

Buka Hati dengan Pendidikan Tauhid

× Hubungi Kami