Kita berduka atas kematian Renggo Khadafi (11 tahun) pada 04/05/2014. Dia meninggal (diduga) karena dianiaya SY, kakak kelasnya di sebuah SD di Jakarta. Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan di ‘dunia kanak-kanak’ dan lalu ada yang menghubungkannya dengan efek dari apa yang sering mereka tonton selama ini.
Bocah Berulah
Apa masalahnya sehingga Renggo Khadafi sampai dianiaya oleh kakak kelasnya? Situs www.kompas.com pada 06/05/2014 memberitakan bahwa pada saat istirahat sekolah, Renggo yang tengah berjalan tergesa-gesa tidak sengaja menyenggol makanan ringan seharga Rp 1.000 milik Sy hingga terjatuh. Atas insiden yang tak disengaja itu Renggo telah meminta maaf dan bahkan mengganti makanan ringan tersebut. Namun, tindakan Renggo dianggap tidak cukup oleh SY. Keesokan harinya SY menganiaya Renggo.
Seperti apa bentuk penganiayaannya? Situs www.news.liputan6.com 05/05/2014 menyebut bahwa Renggo mendapat pukulan di bagian wajah, perut, dan bokong. Lalu, seperti apa akibatnya? Dari situs www.kompas.com 06/05/2014, bahwa berdasarkan penuturan pihak keluarga, tercatat pada 04/05/2014 pukul 00.30 Renggo dirawat di rumahnya. Kala itu luka di wajah dan sekujur tubuhnya tampak jelas sekali. Saat dirawat oleh keluarga, Renggo masih sempat mengucapkan kata-kata kepada kakak tirinya yang sekaligus selama ini berperan sebagai ibu asuhnya: “Ikhlas ya Mih… Renggo sayang Mamih… tapi SY jangan dipenjara ya Mih, kasihan Mih….” Sementara, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto menjelaskan bahwa berdasarkan hasil visum sementara atas jenazah Renggo, diketahui ada kerusakan di selaput otaknya.
Kita benar-benar sangat prihatin atas musibah yang menimpa Renggo. Pertama, korban maupun yang diduga pelaku penganiayaan masih sangat belia. Kedua, penganiayaan terjadi karena dipicu oleh masalah yang sangat sepele dan bahkan korban sempat meminta maaf serta mengganti kerugian. Ketiga, kekerasan itu terjadi di lingkungan sekolah.
Di antara yang prihatin dan lalu memberikan ‘warning’ adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisi itu menyatakan bahwa orangtua harus berperan aktif mengawasi tontonan dan game yang dimainkan anak-anak. “Orangtua perlu menjauhkan anak-anak dari paparan film-film dan game kekerasan. Sebab, anak-anak cenderung meniru tindakan-tindakan kekerasan tersebut,” kata Sekretaris KPAI Erlinda. Menurut dia, “Anak melihat tontonan dan game kekerasan, melihat bagaimana cara memukul, menendang hingga membunuh. Ini berbahaya bagi perkembangan anak-anak.”
Apa yang harus dikerjakan orangtua? “Perlu ada komitmen dan kesadaran orangtua dalam membimbing dan mengasuh anak-anak. Untuk itu, anak-anak harus terus dibimbing ketika menonton sinetron, film atau bermain game,” kata Erlinda (www.kpai.go.id 05/05/2014).
Duh, Selamatkan!
Tampak Erlinda meminta orangtua untuk mewaspadai –antara lain- televisi. Erlinda benar, sebab sudah lama Taufiq Ismail menyebutkan hal yang senada. Taufiq menulis: “Yang tidak diajarkan televisi adalah cara membunuh televisi”. Pernyataan Taufiq itu adalah sebaris syair dalam Malu Aku Jadi Orang Indonesia yang memotret isi siaran televisi kita yang penuh vulgarisme, seperti kekerasan, pornografi, dan gosip.
Di tengah situasi buruk itu, ada fakta –berdasar sebuah laporan di beberapa waktu lalu- bahwa banyak orangtua yang dengan alasan menyenangkan anak, justru menyediakan televisi di kamarnya. Mencemaskan, sebab –ternyata- banyak orangtua yang merelakan anaknya ‘diasuh’ oleh televisi, bahkan ada yang sejak berusia tiga tahun.
Berbagai alasan diberikan orangtua. Ada dalih sekadar memenuhi permintaan anak. Ada alasan, ingin memberikan hiburan ke anak setelah lelah belajar. Benarkah sikap orangtua itu di tengah situasi (hampir) semua televisi yang mengabaikan moralitas? Beralasankah memberikan keleluasaan menonton televisi tanpa kontrol di tengah kenyataan bahwa bagian terbanyak isi siaran televisi berpotensi merusak akhlak? Sudahkah para orangtua itu mengalkulasi untung-rugi dari sikap memberikan kemerdekaan memegang kendali penggunaan televise kepada anak? Relakah kewajiban dan tanggung jawab orangtua untuk mendididik anak diambil alih oleh televisi?
Janganlah orangtua pura-pura tak tahu, bahwa anak-anak itu banyak belajar dari apa yang mereka tonton. Bukankah orangtua itu tahu, bahwa daya imitasi (peniruan) anak-anak itu kuat sekali?
Sebuah penelitian –di tahun 2006- melaporkan bahwa anak-anak mengonsumsi siaran televisi 40 jam tiap pekan. Artinya, dalam sehari anak-anak ‘berguru’ ke televisi selama lima jam empat puluh dua menit. Apa akibatnya?
Lihatlah gaya berbahasa mereka. Perhatikanlah ekspresi mereka di saat berkomunikasi dengan orang lain. Cermatilah cara mereka berdandan. Sangat terasa pengaruh siaran televisi bagi mereka.
Berbagai bukti akibat negatif siaran televisi terhadap perilaku anak telah nyata tersaji. Di beberapa tahun lalu, misalnya, lihatlah akibat buruk dari acara Smack Down yang pernah ditayangkan salah sebuah stasiun televisi. Terinspirasi adegan kekerasan, terbit keinginan untuk menirunya. Akibatnya, sejumlah anak cidera dan sebagian di antaranya meninggal.
Sangat mendesak untuk bersama-sama mengatasi masalah ini. Ada berbagai modus menjauhkan anak dari televisi. Pertama, menerapkan model “nonton tapi selektif”. Misalnya, yang boleh ditonton hanya siaran seperti berita, sinetron bernuansa religius, atau yang semisal itu. Kedua, secara ekstrim tak ‘memelihara’ televisi.
Alhasil, masihkah kita akan betah berjam-jam memelototi televisi? Relakah kita dibodohi oleh televisi yang lebih sering menjajakan mimpi? Sudikah anak-anak kita yang sedang tumbuh-kembang dididik oleh ‘pengasuh’ bernama televisi dengan mata pelajaran utama berupa kekerasan dan pornografi?
Mari kita merenung dan lalu bersikap. Pertama, selektiflah jika anak-anak harus menoton televisi. Orangtua harus bisa ‘mengawal’ saat mereka nenonton televisi. Kedua, kontrol atas isi siaran televisi harus dilakukan semua pihak, mulai orang tua, LSM, dan pemerintah. Sungguh, selamatkanlah anak-anak Indonesia, sebab sesungguhnya mereka adalah penentu masa depan bangsa.