Ayah, bunda, kepada siapa kita menitipkan anak2 kita, saat kita sibuk bekerja??
Pembantu, Penitipan Anak, atau Orangtua kita (alias kakek nenek)
Pembantu, Penitipan Anak, atau Orangtua kita (alias kakek nenek)
Hmmm,,
Mungkin yang paham akan pendidikan lebih memilih di penitipan anak (Baby Care/Day Care), Atau kalau orangtua/mertua tempat tinggalnya lebih dekat & merasa nyaman dengan pola asuh terhadap dirinya akan memilih menitipkannya ke mereka.
Hingga saat ini, saya masih suka menitipkan Nadira di rumah mertua saya. Kebetulan, rumah mertua hanya beda beberapa rumah dari rumah kami. Kemudian, suami saya itu tipe paranoid, yang enggan meninggalkan anak berdua saja dengan ART di rumah. Jadi, deh, setiap pulang sekolah, Nadira ke rumah neneknya dan dijemput saat kami pulang kantor. Meski begitu, saya tetap menugasi pengasuh Nadira untuk meladeni semua kebutuhannya. Jadi mertua saya hanya mengawasi saja.
Itupun kami masih suka merasa nggak enak. Saya dan suami takut kalau mertua jadi terbebani atau terkekang. Makanya kami berusaha keras agar kehadiran Nadira di rumah mertua tidak merepotkan beliau. Untuk makanan, susu dan snack, saya siapkan sendiri. Kemudian, kami juga memberi uang bulanan kepada mertua sebagai “kompensasi”. Awalnya mertua menolak, tapi karena kami yakinkan dengan argumentasi yang masuk akal, akhirnya beliau mengerti.
Kenapa kami mau repot-repot begini? Sebab kami berusaha memberi batasan. Nadira adalah anak dan tanggung jawab kami. Semua kebutuhannya HARUS kami yang penuhi. Jangan sampai karena kami lalai memenuhi, Nadira jadi merepotkan orang lain, meski itu kakek dan neneknya sendiri.
Ternyata, pedoman ini juga dianjurkan oleh seorang psikolog terkenal. Saya pernah baca rubrik konsultasi yang ia asuh di sebuah tabloid. Saat itu, ia menjawab pertanyaan seorang ibu yang mengeluh karena masih tinggal bersama mertuanya.
Saya lupa kalimat persisnya, tapi kira-kira tulisan sang psikolog begini, ya:
“Ibu saya itu sakelijk kepada anak dan cucunya. Saat saya menitipkan anak, ibu membolehkan. Tapi saya harus membawa pengasuh anak dan kebutuhan anak saya sendiri. Ibu menegaskan, anak saya adalah tanggung jawab saya. Jadi beliau bersedia dititipi anak, tapi hanya mengawasi dan mengajaknya bermain, bukan memandikan, menyuapi atau mengejar-ngejarnya. Itu sepenuhnya adalah tanggung jawab orang tua si anak, yang bisa didelegasikan ke pengasuh.
Selain itu, ibu saya juga tegas jika ada anaknya yang tinggal di rumah. Si anak harus membayar biaya listrik, biaya makan, dan lain-lain. Tidak ada namanya menumpang gratis. Apalagi jika si anak menumpang tinggal bersama istri/suami dan anaknya. Ia harus mengurus segala sesuatu sendiri, mulai dari makanan, cucian sampai membersihkan kamar. Rumah ibu saya ibaratnya hanya sebagai kos-kosan. Si anak dan keluarganya harus bertanggung jawab atas semua kebutuhannya sendiri dan membayar kewajibannya tiap bulan.
Memang banyak saudara yang kaget dengan sikap ibu. Tapi menurut saya, justru inilah yang terbaik. Saya dan adik-adik saya jadi terbiasa mandiri, baik secara psikis maupun finansial serta menghormati ibu sebagai orang tua maupun sebagai seorang pribadi. Jika ibu saya tidak tegas seperti itu, bisa jadi anak-anaknya akan bertingkah seenaknya dan memperlakukan ibu dengan tidak hormat. Tugas ibu mengurus anak-anaknya kan sudah selesai saat anak-anaknya mandiri. Masa harus ditambah dengan mengurus cucu dan anak-anaknya yang sudah menikah?”
Siapa yang merasa “jleb” dengan komentar sang psikolog tadi? *tunjuk diri sendiri hehehe…*
Makanya saya merasa beruntung punya suami yang satu visi untuk urusan ini. Bahkan suami saya lebih lebay. Dulu saat saya masih tinggal nebeng sama mertua dan orang tua saya, suami selalu membelikan beras, minyak dan kebutuhan rumah tangga lainnya untuk mertua dan ortu saya. Alasannya, kami sering tinggal dan numpang makan, plus menitipkan Nadira. Padahal saya berpikir, memberi uang bulanan saja sudah cukup.
Anyway, poin-poin etika menitipkan anak pada orang tua mungkin bisa dirangkum sebagai berikut:
1. Awali semua dengan rasa “tidak enak”. Jangan mentang-mentang itu orang tua atau mertua sendiri, lantas kita bisa seenaknya menitipkan anak. Kita sudah jadi orang tua, lho, anak adalah tanggung jawab kita sepenuhnya, bukan orang lain meski itu kakek dan neneknya sendiri.
2. Penuhi kebutuhan anak agar tidak membebani ortu kita. Bu Elly Risman pernah berkata, “Tubuh kami (ortu, Red), tidak didesain untuk mengejar-ngejar cucu. Kami ini sudah renta. Anak adalah tanggung jawab ortunya, bukan kakek neneknya.” Jadi kalau kita mau menitipkan anak, sediakan pengasuh dan segala kebutuhan anak. Kalau kepepet, seperti pengasuh pulang kampung misalnya, minimal sediakan segala kebutuhan anak. Jangan sampai menyusahkan ortu secara fisik dan finansial sekaligus.
3. Berbeda pola asuh dengan ortu? Terima sajalah. Itu, kan, risiko yang kita ambil saat memutuskan untuk menitipkan anak pada ortu, bukan? Kalau tidak mau, ya, jangan titipkan anak, dong. As simple as that 🙂
4. Kalau memang ada yang mengganjal sekali, utarakan dengan hati-hati. Kita bisa kan bersikap ekstra hati-hati bahkan memanjakan ART/nanny dengan tujuan agar mereka tidak mudik? Lalu kenapa sama ortu sendiri nggak bisa? Padahal mereka yang melahirkan dan mengasuh kita sejak kecil, lho.
5. Kasih sayang ibu sepanjang masa, kasih sayang anak sepanjang galah. Ingat pepatah tersebut? Oleh karena itu, menurut saya, sebanyak apapun saya memberi uang atau harta benda pada ortu dan mertua, tetap tidak akan mampu membalas semua yang pernah mereka berikan. So please be generous to your parents, tentu sesuai kemampuan ya. Apalagi jika ortu kita sehari-hari membantu mengasuh anak. Sebisa mungkin berikan uang bulanan meski hanya sedikit. Kalau ortu menolak, berikan hadiah-hadiah kecil sebagai kejutan. Entah itu makanan kesukaannya, blus cantik atau pajangan favorit. Minimal, berikanlah perhatian kepada mereka because it’s the least that we can do, right?
Sumber : http://mommiesdaily.com/2013/01/11/menitip-anak-pada-ortu-ini-etikanya/